ETNOMETODOLOGI
Makalah
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas
Dosen Pengampu : Suprihatiningsih, S.Ag, M.Si
Disusun Oleh :
Dwi Aprillia Hapsari (1501046011)
Muhammad Marzuki (1501046012)
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Dalam kehidupan yang sifatnya dinamis ini, manusia sebagai makhluk sosial
tidak akan pernah bisa lepas dari individu-individu yang lain. Sehingga mereka
akan selalu bersentuhan dengan indvidu lainnya, dengan kelompok individu,
bahkan antara kelompok individu dengan kelompok individu yang lain, atau dalam
dunia sosial lebih dikenal dengan istilah Interaksi
Sosial. Interaksi sosial yang terbangun melahirkan gejala-gejala sosial
(fakta sosial) dalam kehidupan masyarakat. Ilmu sosial hadir dengan tujuan
untuk membangun pemahaman atas setiap fakta sosial yang terjadi ditengah
masyarakat. Pemahaman tersebut dapat ditempuh melalui pengamatan sosial.
Pengamatan sosial tidak hanya dilakukan dengan satu cara dan dari satu sudut
pandang sosial saja, sehinggan hal ini kemudian melahirkan banyak metodologi
yang dapat dipergunakan dalam melakukan pengamatan sosial. Diantara metodologi
yang ada salah satunya adalah Etnometodologi.
Etnometodologi sebagai sebuah cabang studi sosiologi berurusan
dengan pengungkapan realitas dunia kehidupan (lebenswelt) dari individu atau
masyarakat. Sekalipun etnometodologi oleh beberapa pakar dipandang sebagai
sebuah studi pembaharuan dalam sosiologi, etnometodologi memiliki kesamaan
dengan beberapa pendekatan sosiologi sebelumnya yaitu fenomenologi.
II.
Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud Etnometodologi ?
B. Bagaimana Diversifikasi Etnometodologi ?
C. Bagaimana Kritik terhadap Sosiologi Tradisional ?
D. Bagaimana Ketegangan dan Tekanan dalam Etnometodologi ?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etnometodologi
Istilah Etnometodologi (ethnomethodolgy)
berasal dari bahasa Yunani yang berarti metode,
yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Etnometodologi pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan berdasarkan akal
sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya
maasyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu, dan bertindak berdasarkan
situasi dimana mereka menemukan dirinya sendiri.[1]
Pemahaman lebih mendalam tentang sifat dasar etnometodologi akan bisa didapatkan
dengan meneliti upaya pendirinya Harold Garfinkel untuk mendefinisikannya.
Sebagaimana Durkheim, Garfinkel menganggap fakta sosial sebagai fenomena
sosiologi fundamental. Namun fakta sosial menurut Garfinkel sangat berbeda dari
fakta sosial menurut Durkehim. Menurut Durkheim, fakta sosial berada diluar dan
memaksa individu. Pandangan ini cenderung melihat aktor dipaksa atau ditentukan
oleh struktur dan pranata sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tidak
mempunyai kebebasan untuk memuat pertimbangan. Sebaliknya etnometodologi
membicarakan obyektivitas fakta sosial sebagai prestasi anggota, sebagai produk
aktivitas metodologis anggota. Dengan kata lain etnometodologi memusatkan
perhatian pada organisasi organisasi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian,
Etnometodologi bukanlah makrosoiologi dalam arti yang dimaksud Durkheim, tetapi
bukan juga sebagai mikrososiologi. Sehingga etnometodologi memusatkan perhatian
pada aktivitas sehari-hari individu.[2] Etnometodologi memiliki tiga dasar asumsi, yakni:
1. Kehidupan sosial pada dasarnya tidak
pasti; namun,
2. Para pelaku tidak menyadari hal ini,
karena
3. Tanpa mereka ketahui, mereka memiliki
kemampuan yang dibutuhkan untuk membuat dunia nampak sebagai tempat yang
teratur.
B. Diversifikasi Etnometodologi
Etnometodologi mula-mula “diciptakan” oleh Garfinkel di akhir tahun
1940an, tetapi barumenjadi sistematis setelah diterbitkan karyanya yang
berjudul Studies in Ethnomethodology pada 1967. Setelah beberapa tahun
etnometodologi tumbuh pesat dan berkembang ke berbagai arah yang berbeda. Hanya
satu dekade setelah terbitnya Studies in Ethnomethodology, dan Zimmerman
menyimpulkan bahwa ada beberapa jenis etnometodologi seperti “etnometodologi
mencakup sejumlah penyelidikan yang kurang lebih berbeda dan ada kalanya saling
bertentangan” (1978:6). Sepuluh tahun kemudian Atkinson (1988) menegaskan
kurangnya koherensi dalam studi etnometodologi dan selanjutnya menyatakan bahwa
ada beberapa etnometodologis yang menyimpang terlalu jauh dari premis-premis yang
melandasi pendekatan ini.[3] Dengan demikian meski etnometodologi ini merupakan teori sosiologi
yang sangat bersemangat, namun “mengindap penyakit” yang makin parah di tahun
belakangan ini. Tak salah dikatakan bahwa etnometodologi, diversitasnya, dan
problemnya, akan semakin banyak di tahun-tahun mendatang. Bagaimana juga,
masalah pokok yang menjadi sasaran studi etnometodologi adalah berbagai jenis
kehidupan sehari-hari yang terbatas. Karena itu akan semakin banyak studi makin
banyak diversifikasinya dan makin “growing paints”.
1.
Studi Setting Institusional
Maynard dan Clyman melukiskan sejumlah karya variasi
dalam etnometodologi, tetapi hanya ada dua jenis studi etnometodologi yang
menonjol. tipe pertama adalah studi etnometodologi tentang setting institusional.
Studi etnometodologi awal yang dilakukan oleh Garfinkel
berlangsung dalam setting biasa dan tak diinstitusionalkan seperti rumah,
kemudian bergeser ke arah studi kebiasaan sehari-hari dalam setting
institusional seperti dalam sidang pengadilan, klinik, dan kantor polisi.
Studi sosiologi konvensional seperti itu memusatkan
perhatian pada strukturnya, aturan formalnya, dan prosedur resmi untuk
menerangkan apa yang dilakukan orang didalamnya.
menurut pakar etnometodologi, paksaan eksternal tak
memadai untuk menerangkan apa yang sebenarnya terjadi didalam institusi itu.
Orang tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal seperti itu, mereka menggunakan
institusi untuk menyelesaikan tugas mereka dan untuk menciptakan institusi
dimana mereka berada didalamnya.
Tujuan studi institusional adalah memahami cara orang,
dalam setting institusional, melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang
terjadi dalam institusi tersebut. Studi ini memusatkan perhatian pada
strukturnya, aturan formal, dan prosedur resmi untuk menerangkan apa yang
dilakukan orang di dalamnya. Dalam hal ini orang menggunakan prosedur yang
berguna bukan hanya untuk kehidupan sehari-hari, tetapi juga untuk menghasilkan
produk institusi.
Misalnya, tingkat angka kriminal disusun oleh kantor polisi
bukan semata-mata karena akibat petugas mengikuti peraturan yang ditetapkan
secara jelas dalam tugas mereka. Petugas lebih memanfaatkan prosedur
berdasarkan akal sehat untuk memutuskan umpamanya apakah korban harus
digolongkan sebagai korban pembunuhan. Jadi, angka kriminal seperti itu
berdasarkan penafsiran pekerjaan dan profesional, dan pemeliharaan catatan
kriminal seperti itu adalah kegiatan yang berguna untuk studi yang sebenarnya.[4]
2.
Analisis Percakapan
Percakapan adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan
aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat
dianalisis. Analisis Percakapan (conversation
analysis) memiliki tujuan untuk memahami secara rinci struktur fundamental
interaksi melalui percakapan. Analisis percakapan lebih memusatkan perhatian
pada hubungan antara ucapan dalam percakapan ketimbang hubungan antara
pembicara dan pendengar.
Analisis Percakapan merupakan salah satu
ranah yang paling berkembang dan paling kaya dalam etnometodologi. Analisis
percakapan dianggap sebagai program yang penting dan paling sempurna dari
etnometodologi. Praktek ini dibangun oleh Harvey Sack, di pertengahan tahun
enam puluhan, dengan menjadikan percakapan sebagai tema utama penelitiannya.
Menurut Zimmerman, tujuan dari analisis
percakapan adalah untuk memahami secara mendetail struktur fundamental dari
interaksi percakapan. Lebih lanjut Zimmerman, merangkum dasar-dasar analisis
percakapan dalam lima premis.
Pertama, Analisis percakapan mensyaratkan adanya kumpulan dan
analisis data yang mendetail. Data ini meliputi tidak hanya kata-kata tetapi
juga keragu-raguan, desah nafas, sedu sedan, gelak tawa, perilaku non verbal
dan berbagai aktivitas lain. Semua itu menggambarkan perbuatan percakapan aktor
yang terlibat.
Kedua, Bahkan detail percakapan harus dianggap sebagai
suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak diatur oleh etnometodolog, aspek
tadi diatur oleh aktivitas metodis dari para aktor itu sendiri. Ketiga, Interaksi pada umumnya dan
percakapan pada khususnya mempunyai sifat-sifat yang stabil dan teratur hingga
keberhasilan para aktor akan dilibatkan.
Keempat, Landasan fundamental dari percakapan adalah
organisasi yang sequential. Kelima,
Keterikatan bidang interaksi percakapan diatur dengan dasar lokal atau dengan
bergilir.
Sebagai sebuah metode yang meletakkan studinya pada
kegiatan manusia sehari-hari atas dasar commen sense, Etnometodologi melihat
realitas common sense dan eksisitensi sehari-hari manusia merupakan kepentingan praktis dalam kehidupan
sosial. Dalam melakukan kemampuan-kemampuan praktikalnya (kepentingan praktis)
individu berpangkal pada sebauh pemahaman dan atau keyakinan akan fakta yang
berdasar pada akal sehat dan kreasi.
Dilengkapi dengan pengetahuan akal sehat dan dengan
kepercayaan (pemahaman) akan fakta, karakter teratur dunia, para anggota
bergerak maju dan membuat setiap situasi dimana mereka berpartisipasi menjadi
masuk akal. Etnometodologi menekankan bahwa setiap situasi sosial itu unik.
Kata-kata yang diucapkan adalah indeksial (percakapan indeksial). Artinya bahwa
kata-kata itu hanya masuk akal pada kesempatan atau waktu tertentu ketika
mereka menggunakannya. Tetapi mereka juga menekankan bahwa para anggota, yang
secara tidak disadari terlibat dalam mengidentifikasi keteraturan dan realitas
objektif, memandang segala sesuatu secara berbeda. Mereka mengidentifikasi
kesamaan suatu kejadian dengan kejadian lain. Mereka memilih dari semua hal
yang terjadi disekitar mereka bukti yang mendukung pandangan bahwa hal-hal yang
eksis atau yang terjadi adalah tipikal dunia. Bagi mereka, suatu situasi sosial
adalah sebuah pelajaran, dan suatu pola dibangun padanya dengan menggunakan
pengetahuan akal sehat.
Dengan pengetahuan akal sehat itu pula,
jarak-jarak perbedaan persepsi tentang suatu kejadian diisi atau didekatkan dengan
cara yang sama oleh pendengar-pendengar yang berbeda untuk meyakinkan diri
mereka kembali bahwa sesuatu yang terjadi itu adalah sebagaimana nampaknya, dan
merupakan kemampuan praktikal yang dilakuakan individu atas dasar kapasitas
kreasi dan akal sehat.[5]
C. Kritik terhadap Sosiologi Tradisional
Pakar etnometodolgi mengkritik sosiologi tradisional karena selalu
menekankan perhatian pada dunia sosial. Mereka yakin, sosiologi belum cukup
perhatian atau belum cukup menghargai fenomena kehidupan sehari-hari yang
seharusnya menjadi sumber pokok pengetahuan sosiologi. Lebih ekstrem lagi,
sosiologi telah menghilangkan aspek kehidupan sosial yang sangat esensial
(etnometodologi) dan memusatkan perhatian pada dunia konsepsi yang
menyembunyikan praktek kehidupan sehari-hari, karena keasikan pandangan mereka sendiri
tentang kehidupan sosial, para sosiolog cenderung tak memahami realitas sosial
dengan yang mereka kaji. seperti yang dikatakan Menhan dan Wood, “dalam upaya
berperan sebagai ilmu sosial, sosiologi justru menjadi terasing dari kehidupan
sosial”.
Hasil studi R.W. Mackay tentang sosialisasi anak-anak juga lebih bermanfaat
sebagai kritik atas kekacauan topik dan sumber studi sosiologi tradisional.
Mackay membandingkan pendekatan “normatif” sosiologi tradisional dengan
pendekatan interpretatif etnometodologi. Pendekatan normatif menyatakan bahwa
sosialisasi adalah semata-mata sederetan tahap dimana orang dewasa yang
“sempurna” mengajarkan cara-cara hidup bermasyarakat kepada anak-anak yang
“belum sempurna”. Mackay memandang ini sebagai “tafsiran” yang mengabaikan
realitas bahwa sosialisasi sebenarnya menyangkut interaksi antara anak-anak dan
orang dewasa. Anak-anak tidaklah pasif, seperti wadah kosong. Anak-anak adalah
partisipan yang aktif dalam proses sosialisasi karena mereka mempunyai
kemampuan untuk menalar, menemukan, dan mempelajari pengetahuan. Mackay yakin
orientasai etnometodologi “memperbaiki interaksi antara orang dewasa dan
anak-anak berdasarkan kecakapan menafsirkan fenomena yang distudi”.[6]
D. Ketegangan dan Tekanan dalam Etnometodologi
Selagi etnometodologi membuat langkah sehat dalam sosiologi terutama di
bidang analisis percakapan, dan mampu menghimpun pengetahaun tentang dunia
kehidupan sehari-hari, ada beberapa masalah yang patut diperhatikan.
1) Etnometodologi kini jauh lebih diterima dibanding lalu,
namun oleh kebanyakan sosiolog, etnometodologi masih dipandang dengan penuh
kecurigaan. Para sosiolog memandang etnometodologi terlalu memusatkan perhatian
pada masalah sepele dan mengabaikan masalah yang sangat penting yang dihadapi
masyarakat kini. Jawaban pakar etnometodologi adalah bahwa mereka menganalisis
masalah penting karena masalah kehidupan sehari-hari itulah yang terpenting
untuk dikaji.
2) Ada orang yang yakin bahwa etnometodologi telah melupakan
akar fenomenologisnya dan mengurangi perhatiannya terhadap kesadaran dan proses
kognitif. Pakar etnometodologi terutama pakar analisis percakapan lebih
memusatkan perhatian pada “ciri struktur percakapan itu sendiri”
3) Beberapa pakar etnometodologi telah memikirkan kaitan antara
karya mereka (misalnya percakapan) dan struktur sosial lebih luas. Pakar
etnometodologi cenderung memandang diri mereka menjembatani pemisahan analisis
mikro-makro. Misalnya beberapa tahun yang lalu Zimmerman melihat perkawinan
silang dengan sosiologi makro sebagai sebuah “pertanyaan terbuka” dan sebagai
peluang yang menarik perhatian.
4) Dari lapangan Pollner mengkritik etnometodologi karena
kehilangan refleksivitas radikal aslinya. Refleksivitas radikal mengarah pada
pandangan bahwa semua aktivitas sosial adalah prestasi, termasuk aktivitas
pakar etnometodologi. Seperti dinyatakan Pollner, etnometodologi berada di
pinggiran sosiologi.
5) Meski dibahas di bawah judul yang sama, muncul kekhawatiran
dalam hubungan antara etnomotodologi dan analisis percakapan.[7]
PENUTUP
Etnometodologi
jelas memiliki cara pandang yang berbeda dengan teori struktural dan
interaksionis dalam melihat realita sosial. Sebagaimana dijelaskan diatas,
bahwa teori struktural melihat gambaran yang paling signifikan dari kehidupan
sosial manusia adalah dalam kekuatan-kekuatan eksternal yang bersifat memaksa
individu. Sehingga dalam memahami perilaku sosial harus dibangun pemahaman atas
determinasi struktural dalam kehidupan manusia. Sementara bagi kalangan
interaksionis, pelaku (individu) ditempatkan sebagai objek perioritas. Sehingga
teori ini membangun pemahaman dengan terlebih dahulu memahami tindakan-tindakan
sosial individu.
Bagi
etnometodologi, minat dan kepentingannya berbeda. Satu-satunya yang dapat
dideskripsikan dengan pasti dalam kehidupan sosial adalah semua yang dilakukan
individu secara bersama dalam kesehariannya yang berpangkal pada akal dan
kreasi. Akahirnya, etnometodologi sampai pada sebuah keyakinan bahwa pendekatan
ini mampu menunjukkan kebenaran tentang apa yang individu bangun melalui upaya
mereka sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http://al-fikar.blogspot.co.id/2014/01/etnometodologi.html
Ritzer.
George dan Douglas J. Goodman, Teori
Sosiologi Modern, 2010, Jakarta
: Kencana.
Ritzer. George,
Teori Sosiologi, 2012, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
[1] George Ritzer
dan Douglass J Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta : Kencana. hlm : 322
[2] Ibid, 322-333
[4] Ibid, 326-327
[5] George Ritzer.
Ibid, : 673-675
[6] Ibid, 348-349
[7] http://al-fikar.blogspot.co.id/2014/01/etnometodologi.html, diakses pada
tanggal 08 November 2016 pukul 12.30

Tidak ada komentar:
Posting Komentar