PARAMETER
KEBERHASILAN DAKWAH
(Studi
Kasus: Peran Pesantren API Tegalrejo Magelang dalam Pengembangan SDM)
Makalah
Mata Kuliah: Sosiologi
Dakwah
Disusun Oleh:
Dwi Aprillia (1501046011)
Miftahul Mukarromah (1501046018)
I’marus Sholeh (1501046020)
PMI A-3
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Kegiatan dakwah sebagai upaya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi anil
munkar dituntut untuk selalu mengembangkan visi, misi, dan wilayah
kepeduliannya terhadap kelompok sasaran. Untuk itu perlu disusun agenda dengan
menggunakan tekhnik dan metode kerja yang tepat agar dapat mencapai tujuan
dengan efektif dalam rangka pelaksanaan dakwah yang profesional.
Untuk menentukan keberhasilan kegiatan dakwah hingga dapat disebut
efektif, fungsional, dan profesional, diperlukan adanya standar dan kriteria
sebagai alat ukur dari keberhasilan tersebut baik kuantitatif maupun
kualitatif. Berangkat dari prinsip bahwa kegiatan dakwah adalah melaksanakan
perintah Allah dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi anil munkar,
maka standar dan kriteria yang harus dipakai ialah yang bersumber dari
al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian, di dalam makalah ini, akan dibahas
mengenai beberapa komponen bagaimana dan seperti apa dakwah dikatakan berhasil.
II.
Rumusan Masalah
A.
Apa tujuan dakwah menurut para
ahli ?
B.
Bagaimana konsep keberhasilan dakwah ?
C.
Apa saja indikator keberhasilan dakwah
menurut perspektif sosiologi ?
D.
Bagaimana standar dan kriteria keberhasilan
kegiatan dakwah?
E.
Bagaiamana profil pesanteren API Tegalrejo?
F.
Bagaiamana kondisi masyarakat Tegalrejo pra perubahan?
G.
Bagaiamana pengembangan sosial
sumber daya manusia masyarakat Tegalrejo setelah perubahan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tujuan Dakwah
Dakwah bertujuan menciptakan suatu tatanan kehidupan individu dan
masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera yang dinaungi oleh kebahagiaan, baik
jasmani maupun rohani, dalam pancaran sinar agama Allah dengan mengharap
ridha-Nya. Secara sistematis, tujuan dakwah adalah :
a.
Tazkiyatul I-Nafs
Membersihkan jiwa masyarakat dari noda-noda
syirik dan pengaruh-pengaruh kepercayaan yang menyimpang dari akidah Islam.
Suatu aktifitas dakwah diarahkan untuk mencerahkan batin individu dan kelompok,
serta menemukan keseimbangan kehidupan yang dinamis. Untuk melakukan itu, diperlukan
langkah komunikasi guna mempengaruhi sekaligus mengubah pikiran, ideologi, dan
keyakinan yang buruk pada ideologi yang baik dilakukan dengan sebaik-baik
perkataan (Kuswata dan Surya Kusumah, 1986 : 22).
b.
Mengembangkan Kemampuan Baca Tulis
Mengembangkan kemampuan dasar masyarakat
meliputi kemampuan membaca, menulis, dan memahami makna al Qur’an serta sunnah
Nabi. Dari sini, masyarakat akan melek huruf, kemampuan nalarnya berkembang
menuju terciptanya masyarakat madani yang membawa kesejahteraan hidup sehingga
masyarakat mampu untuk terus maju.
c.
Membimbing Pegamalan Ibadah
Umat Islam perlu mendapat bimbingan ibadah
sehingga bobot ibadahnya menjadi baik atau lebih baik. Ibadah menjadi landasan
bagi perkembangan kehidupan masyarakat untuk tetap damai, maju, dan selamat di
dunia serta akhirat. Ibadah yang baik disertai dengan ilmu, pemahaman, dan
penghayatan.
d.
Meningkatkan Kesejahteraan
Dakwah lazimnya membawa umat Islam pada
peningkatan kesejahteraan, baik sosial, ekonomi, maupun pendidikan. Ini dapat
tercipta bila dakwah mampu mendorong masyarakat muslim memiliki etos kerja :
giat, perhitungan, menepati janji, menjamin kualitas, dan bersama-sama
memelihara kebajikan.
Tujuan dakwah para
Rasul dan Da’i adalah menyeru manusia kepada iman. Berkaitan dengan itu, A.A. Ishlahi
(1989:80) menyatakan, iman tidaklah bersifat negatif, melainkan positif. Iman
hanya bermanfaat bila tertanam kuat dalam sanubari dan jiwa seseorang.[1]
a)
Mewujudkan masyarakat Islam, yang di
dalamnya setiap individu merasakan diri telah mencapai derajat dan kualitas
tertinggi sebagai manusia, sesuai fitrah kejadiannya dan merasakan kehidupan
yang Islami (damai, senang, bahagia, dan sejahtera).
b)
Menyempurnakan kehidupan manusia dengan
bertitik tolak pada akhlak.
c)
Memindahkan umat dari satu situasi ke
situasi yang lain.
Sedangkan menurut
Ilyas Supena, tujuan dakwah ialah mewujudkan masyarakat yang menjunjung tinggi
kehidupan beragama dengan merealisasikan ajaran Islam secara penuh dan
menyeluruh.[3]
B.
Konsep Keberhasilan Dakwah
Pada awalnya hasil-hasil atau dalam konsep yang lebih umum, yaitu
keberhasilan dakwah tidak menjadi perhatian para ahli dakwah dan para da’i yang
bersentuhan langsung dalam proses dakwah. Bagi mereka hasil-hasil dakwah, dalam
bentuk perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku mad’u setelah mengalami proses
dakwah merupakan wilayah kekuasaan Allah SWT atau lebih dikenal sebagai
hidayah. Setelah para da’i melaksanakan segala data dan upaya dalam amar ma’ruf
nahi munkar dan disertai do’a yang mereka panjatkan. Kemudian mereka bertawakal
kepada Allah SWT sebagai wujud kepasrahan akan hasil-hasil dakwah yang mereka
lakukan.
Dalam firman Allah Swt, Q.S. Ali Imron: 20 yang artinya : “Kemudian jika
mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah : “Aku
menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang
mengikutiku”. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Alkitab dan
kepada orang-orang yang ummi : “Apakah kamu (mau) masuk Islam”. Jika mereka
masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka
berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan
Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”.
Berdasarkan ayat tersebut, bagi para da’i harus berusaha secara maksimal
dalam bentuk ikhtiar lahiriyah dan ikhtiar batiniyah. Ikhtiar lahiriah adalah
da’i berusaha untuk merangsang fungsi-fungsi hidayah ilham (insting), hidayah
hawasy (panca indera), hidayah akal pada mad’u untuk mengetahui kebenaran
haqiqi yang dapat dijadikan pegangan hidup. Ikhtiar batiniyah adalah da’i
berusaha untuk senantiasa berdoa, agar Allah Swt menganugerahkan kepada mad’u
hidayah at-taufiq (pertolongan), sehingga pemahamannya tentang ajaran Islam
dapat mengantarkan pada perubahan sikap dan perilaku berdasarkan syariat Islam
dalam kehidupannya.[4]
C.
Indikator Keberhasilan Dakwah Perspektif
Sosiologi
Proses dakwah yang melibatkan semua unsur di
dalamnya merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terjadi dilingkungan sosial,
baik keluarga, kelompok atau komunitas dan masyarakat. Mad’u yang di ajak untuk
masuk dalam sistem Islam yang sudah terikat oleh sistem sosial tertentu boleh
jadi akan menerima ataupun menolak tergantung kebutuhan sosiologis mereka
(mad’u). Bagi kaum elit politik dan ekonomi, dengan strata sosial yang
dimilikinya kemungkinan besar akan menolak dakwah. Karena dakwah dipandang akan
menggoyahkan posisis mereka, segala bentuk keuntungan yang diperolehnya.
Kemungkinan yang sama juga dapat terjadi pada kaum non-elit, dakwah yang
membawa nilai-nilai suci agama Islam akan mengalami hambatan bahkan penolakan,
ketika mad’u telah lama mengikuti suatu pola hidup yang berbeda.
Maka dari itu, untuk menilai keberhasilan dakwah
secara sosiologis, dibutuhkan indikator-indikator tertentu sebagai tolak
ukurnya. Menurut Ahmad Faqih, indikator-indikator tersebut dapat digali dari
tujuan-tujuan dakwah yang telah dirumuskan oleh para ahli. Pada ranah sosial,
keberhasilan dakwah dapat dilihat dari dua dimensi yaitu dimensi individu dan
dimensi sosial. Dimensi individu adalah suatu keberhasilan dakwah yang
memfokuskan pada keadaan individu dalam konteks sosialnya. Apakah seorang
individu memiliki karakteristik sebagai muslim yang baik, dalam posisinya
sebagai hamba Allah ataukah khalifah dimuka bumi. Dimensi sosial adalah suatu
keberhasilan dakwah yang menggambarkan kondisi sosial tertentu, apakah memiliki
ciri-ciri tertentu sebagai masyarakat Islam dan atau masyarakat yang Islami.
a.
Dimensi Individu
1.
Iman
2.
Takwa
3.
Akhlaq mulia
4.
Sejahtera
5.
Bahagia
6.
Damai
b.
Dimensi sosial
1.
Khoiru Ummah: saling berpesan dengan
kebenaran, kesabaran, mengajak kepada kebaikan, mencegah kemungkaran
2.
Nilai-nilai ajaran Islam teralisir dalam
kehidupan masyarakat
3.
Keadilan sosial
4.
Makmur
5.
Damai
6.
Sejahtera[5]
D.
Standar dan Kriteria Keberhasilan Kegiatan
Dakwah
Kegiatan dakwah sebagai upaya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi anil
munkar dituntut untuk selalu mengembangkan visi, misi, dan wilayah
kepeduliannya terhadap kelompok sasaran. Untuk menentukan keberhasilan kegiatan
dakwah hingga dapat disebut efektif, fungsional, dan profesional, diperlukan
adanya standar dan kriteria sebagai alat ukur dari keberhasilan tersebut baik
kuantitatif maupun kualitatif. Berangkat dari prinsip bahwa kegiatan dakwah
adalah melaksanakan perintah Allah dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi
anil munkar, maka standar dan kriteria yang harus dipakai ialah yang
bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
1.
Standar dan Kriteria Kuantitatif
Secara kuantitatif keberhasilan suatu
kegiatan dakah dapat diukur dengan standar dan kriteria sebagai berikut:
a.
Kegiatan dakwah yang bertujuan untuk
menegakkan amar makruf nahi anil munkar harus dilaksanakan bersama-sama (kelompok)
secara terkoordinasi dalam kesatuan organisasi yang kokoh, kuat, dan rapi. Artinya
kegiatan dakwah harus didukung oleh sejumlah organisasi dakwah yang kuat,
karena dakwah akan gagal bila secara kuantitatif, organisasi pendukungnya
lemah. (QS. Ali Imron:104)
b.
Sholat sebagai pemegang fungsi terkuat yang
membentengi diri agar terhindar dari tindakan keji dan mungkar, akan lebih
afdhol bila dilaksanakan secara berjamaah. Falsafah sholah mengisyaratkan bahwa
kekuatan jamaah untuk berdakwah harus diutamakan dari praktek dakwah
sendiri-sendiri. Artinya dakwah jamaah lebih utama dari dakwah fardhiyyah.
c.
Jihad sebagai salah satu model dari kegiatan
dakwah tidak hanya terfokus pada pertempuran saja, melainkan banyak sekali
kegiatan lainnya yang digolongkan sama nilainya dengan jihad, seperti membela
kebenaran dan keadilan dihadapan pemimpin yang dzolim, memelihar dan memuliakan
kedua orang tua lebih-lebih dimasa tuanya, membela kepentingan fakir miskin dan
anak yatim, mempertahankan dan memelihara jiwa, akal agama, harta, dan
keturunan. Kenyataan ini memberi pesan bahwa lapangan gerak dakwah itu tidak
satu, tapi sangat banyak dan luas. Artinya secara kuantitatif semakin luas
wilayah jangkauan lapangan dakwah brmakna dakwah itu semakin baik. Begitu juga
semakin banyak fariasi kegiatan dakwah bermakna kegiatan dakwah itu semakin
sejuk dan merata.
Dari beberapa pernyataan ditas yang merupakan
standar dan kriteria untuk mengukur keberhasilan dakwah secara kuantitatif,
maka dapat disimpulkan bahwa untuk menjawab apakah kegiatan dawah itu dapat
dikatakan berhasil secara kuantitatif adalah apabila: pertama, kegiatan
dakwah telah didukung oleh banyak komponen organisasi dakwah, kedua
lapangan lokasi gerak dakwah tidak hanya dimasjid melainkan meluas ke
wilayah-wilayah pemukiman penduduk, perkantoran dan komunitas masyarakat
lainnya. Ketiga, sektor kegiatan dakwah tidak hanya terpaku pada dakwah
lisan atau tulisan saja, tapi telah berkembang secara luas ke sektor-sektor
lain dalam bentuk dakwah bil-hal dan dakwah bil hikmah, seperti bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan
sosial, ekonomi, budaya dan politik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
keimanan dan ketakwaan dalam arti luas.
2.
Standar dan Kriteria Kualitatif
Secara kualitatif keberhasilan kegiatan
dakwah dapat diukur dengan standar dan kriteria sebagai berikut :
a.
Pelaksanaan kegiatan dakwah bertolak dari
prinsip rasionalitas yang realistik, untuk ini sangat diperlukan adanya
musyawarah secara timbal balik antara pelaku dakwah dengan objek dakwah. (QS.
As-Syura:38)
b.
Penyampaian informasi haruslah didasarkan
atas kemampuan dan tingkat kecerdasan akal objek dakwah. (alhadits)
c.
Pelaksanaan kegiatan dakwah harus merujuk
kepada contoh sifat dan keteladanan Rasulullah SAW, baik sebagai seorang
pemimpin, pembina kader, maupun sebagai pengarah khittah perjuangan masa depan.
Beliau adalah seorang yang tegas, berani dan tak kenal kompromi dengan
kekufuran, namun penyayang terhadap sesama muslim dan mukmin. (QS. Al-Ahzab:21
dan Al-Fath:29)
d.
Dalam melaksanakan gerak dakwah harus
terlihat kepastian hukum, yang halal adalah halal dan yang haram adalah haram
meskipun pahit dan sulit. (alHadits)
e.
Kejujuran dan keadilan harus ditegakkan dan
tidak boleh berubah karena kebencian terhadap suatu kaum atau golongan. (QS.
Al-Maidah: 8)
f.
Tingkat tertinggi dari kualitas dakwah
membasmi kemungkaran harus diutamakan, yakni dengan kekuasaan atau power,
berikutnya baru dengan lisan dan hati. (alHadits)
g.
Kepribadian Rasulullah sebagai insan pemaaf
dan lemah lembut dalam berdakwah perlu mendapat perhatian untuk dicontoh. (QS.
Ali Imran: 159)
h.
Amanah sebagai landasan moral dalam
berdakwah harus ditempatkan pada posisi tanggung jawab yang inhern. (QS.
An-Nisa’:58)
i.
Kebiasaan meninggalkan perbuatan dosa dn
ikhlas dalam berdakwah telah menjadi kepribadian ummat. (QS. Al-Muddatsir: 1-7).
Dari beberapa pedoman tersebut, dapatlah disimpulkan
bahwa suatu kegiatan dakwah dapat dikatakan berhasil secara kualitatif apabila:
pertama pelaku dakwah dalam bentuk lembaga atau organisasi sebagai
subjek dakwah jumlahnya semakin banyak yang profesional dan memiliki
tenaga-tenaga yang potensial yang berpendidikan, terampil dan punya wawasan
pengalaman yang luas. Kedua, semakin banyak lapisan masyarakat yang
tersentuh dan merasakan nikmat keislaman dan keimanan melalui gerakan dakwah
baik lisan, tulisan, maupun dakwah bil-hal dan bil-hikmah, terutama dari
kalangan dhuafa’ dan keluarga miskin. Ketiga, penyampaian pesan dakwah
telah dikemas secara sistematis, ilmiah dan bermutu tinggi, sehingga menarik
dsn menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat. Keempat, pelilaku kehidupan
ummat semakin banyak yang berubah kearah positif, seperti akidak yang bersih
dari syirik, dan tahayul, akhlaq semakin memilih yang terpuji dalam pergaulan
yang semakin harmonis dan jauh dari tindakan kekerasan, sadis dan diluar
perikemanusiaan. Kelima, pelaksanaan kegiatan dakwah telah dipersiapkan
sedemikian rupa mulai dari proposalnya hingga realisasinya dilapangan mencerminkan
nuansa etika, estetika, dan ukhuwah yang dikemas berdasarkan ilmu dan
keterampilan yang telah teruji keberhasilannya. Keenam, umat semakin
peduli dengan kegiatan dakwah dan semakin alergi melihat perbuatan-perbuatan
dosa maksiat dan mungkar.[6]
E.
Profil
Pesantren API Tegalrejo
Pesantren API (Asrama Perguruan
Islam) Tegalrejo Magelang didirikan oleh KH. Chudlori pada tanggal 1 Oktober
1944. Nama API dipilih dengan pengharapan, dari kata “perguruan” tersebut para
alumni betul-betul terdorong untuk menjadi guru ngaji. Dan sebagai
pengharapan dalam usaha mendidik kader pembina kehidupan beragama. Dengan
kekuatan lahir batin Sang Muassis ingin mewujudkan harapannya diawali
dari pelajaran, sistem pendidikan, peraturan dan ditunjang dengan mujahadah dan
riyadhah.
Pada awalnya bangunan pondok masih
sangat sederhana, hanya sebuah rumah dari waqaf H. Dahlan Magelang.
Musholla yang ada berfungsi sebagai tempat sholat berjamaah, juga sebagai
tempat belajar para santri. Pada berapa dekade berikutnya secara berangsur-angsur
Pesantren API mengalami perkembangan yang menggembirakan. Secara kualitatif
Pesantren ini semakin memperkokoh jati diri sebagai pesantren alat, artinya
kurikulum pesantren API memberikan bobot lebih banyak pada mata pelajaran yang
berkaitan dengan ilmu bahasa khususnya bahasa Arab.
Dengan spesialisasi tersebut para
santri diarahkan untuk memperdalam semua kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu
alat, bahkan standar kelulusannya ditunjukkan dengan bagusnya hafalan dari
kitab yang dipelajari seperti matan al-jurumiyah, alfiyah, tajwid hidayatus
shibyan. Dengan menerapkan kombinasi sistem bandongan dan sistem
klasikal, santri harus mengikuti pendidikan di Pesantren dari tingkat dasar
atau shifir sampai tingkat VIII. Tiap-tiap tingkat membutuhkan waktu
satu tahun, yaitu sebelum kegiatan haflah akhirussannah seluruh santri
harus melaksanakan ujian kenaikan tingkat secara lisan dihadapan para ustad dan
kiai.
Dalam usianya yang terus bertambah,
Pesantren Api semakin srat dengan berbagai kegiatan, baik kegiatan para santri
maupun kegiatan agama dan kemasyarakatan untuk kepentingan masyarakat Islam di
sekitar pesantren. Maka terciptalah API Tegalrejo sebagai pusat kegiatan Islam,
menjadi semacam laboratorium agama, khususnya untuk daerah Magelang.
F.
Kondisi
Sosial Masyarakat Tegalrejo (Pra Perubahan)
Salah satu sifat dari masyarakat
Jawa bahwa mereka religius dan bertuhan. Sebelum agama-agama besar datang ke
Jawa mereka sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi dan
mengayomi. Pengaruh animisme-dinamisme sebagai akar religiositasnya, dan hukum
adat sebagai pranata sosialnya. Ciri khas religi animisme-dinamisme adalah
menganut kepercayaan ruh dan daya ghaib yang bersifat aktif. Prinsip ruh aktif
menurut kepercayaan animisme adalah orang mati tetap hidup bahkan menjadi sakti
seperti dewa, bisa mencelakakan dan mensejahterakan manusia. Dunia ini juga
dihuni oleh beberapa macam ruh ghaib yang bisa membantu dan mengganggu
kehidupan manusia. Seluruh ritus atau meditasi religi dimaksudkan untuk
berhubungan dan mempengaruhi ruh dan kekuatan ghaib tersebut, bahkan melalui
meditasi atau dukun perewangan dijalin hubungan langsung untuk minta
bantuan dengan ruh dan kekuatan ghaib itu.
Religi animisme-dinamisme tentu
menumbuhkan kelompok pawang yang berfungsi sebagai pendeta, perantara, dukun,
atau orang tua yang bisa berhubungan langsung dengan ruh yang menguasai
kekuatan ghaib. Religi itu memuncak melalui pengembangan ilmu perdukunan, ilmu klenik
dengan rumusan lafal yang dipercayai berdaya magis. Warisan tersebut masih
tampak jelas pada primbon-primbon. Demikian pula ilmu santet dan ilmu tenung,
merupakan warisan ilmu hitam nenek moyang yang berkaitan dengan kepercayaan
animisme-dinamisme. Anehnya dalam transisi menuju modern ini ilmu perdukunan
dan jampi-jampi kian marak dan bahkan sering dikaitkan dengan ilmu pijat
urat. Jadi warisan zaman prasejarah di Jawa masih bertahan dengan berpengaruh,
karena alam pikiran modern baru menyentuh pada lapisan minoritas kaum pelajar
saja.
Jadi religi animisme-dinamisme telah
mendominasi keseluruhan hidup manusia sejak taraf kehidupan manusia masih
bersahaja. Paham ini mempercayai adanya ruh dan daya aktif yang sangat
bertentangan dengan ajaran ruh dan daya pasif pada ajaran Islam. Paham ruh
aktif sedemikian kukuhnya karena dipersabar oleh tradisi-tradisi agama timur,
seperti Persia, Hindu, Budha, dan Tasawuf.
Karena itu KH. Chudlori sebagai
golongan pembaharu mendapat tantangan berat untuk mengIslamkan desa Tegalrejo.
Dalam realitasnya mereka menerima ajaran Islam, tetapi belum dapat melupakan
ajaran-ajaran lama. Mereka mencampuradukkan antara kebudayaan dan agama Islam
dengan kepercayaan yang lama. Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak dijumpai
praktik tradisi dan kepercayaan ynag tercampur didalamnya antara aspek-aspek ajaran
Islam dengan unsur-unsur kepercayaan lama.
G.
Dampak
Sosial Pengembangan Sumberdaya Manusia Msyarakat Tegalrejo (Pasca Perubahan)
Eksistensi dan peran Pesantren API
Tegalrejo yang telah lama mengakar di masyarakat sekitar, menyatu dengan
kehidupan masyarakat telah memberi kontribusi yang tidak kecil untuk
pengembangan masyarakat. Kehadirannya telah membawa perubahan yang signifikan untuk
kemajuan masyarakat. Pada awalnya sang kiai membangun sebuah musholla kecil
dari bambu. Tempat ini sebagai sentral kegiatan dakwahnya, uasaha yang terus
menerus dengan personal approach dan cultural approach membawa
hasil yang cukup baik dengan semakin banyaknya penduduk desa itu yang beragama
Islam.
Pada segi struktural Pesantren API
Tegalrejo telah berperan dalam menumbuhkan institional building dalam
hal pelembagaan pengurusan masjid, zakat infak dan shodaqoh, pendidikan, seni
budaya, kepemudaan dan politik. Pda mulanya masjid-masjid di desa Tegalrejo
dikelola secara individual oleh sang kiai seluruh kegiatan dan perubahan yang
menyangkut kemasjidan dibawah kendali sang kiai. Pada tehap selanjutnya
pesantren bersama KUA Kec. Tegalrejo merintis pengelolaan masjid secara
kolektif menggunakan sistem managemen modern. Para remaja di lingkungan
sekitar masjid juga memperoleh lembaga baru yang dikenal sebagai ikatan remaja
masjid. Kegiatan-kegiatan kemasjidan biasanya dilimpahkan pengelolaannya kepada
para remaja seperti PHBI, amalan ramadhan, pelaksanaan penyembelihan hewan
qurban dan pembagian zakat kepada masyarakat. Pesantren API Tegalrejo juga
berperan penting dalam proses pembentukan organisasi kepemudaan, organisasi
sosial kemasyarakatan, dan organisasi sosial politik.
Dengan keterlibatan pesantren dalam
proses pembentukan lembaga tersebut, para kiai mendapat kehormatan sebagai sesepuh
dalam semua institusi yang ada dimasyarakat. Bahkan pada lembaga pemerintah
desa para kiai juga diposisikan sebagai penasehat (secara informal). Kedudukan
yang diperoleh atas kerja keras atau prestasi tertentu, para kiai pesantren
mampu berperan sebagai pengendali dan pengarah perkembangan pelembagaan di desa
Tegalrejo. Peranan tersebut mampu diaplikasikan oleh para kiai dengan tetap
memegang prinsip kebebasan dan keteraturan.
Inisiatif Pesantren API Tegalrejo
untuk mendirikan lembaga-lembaga baru tersebut, mengakibatkan bertambahnya
struktur-struktur baru yang berpengaruh terhadap perubahan struktur yang telah
ada sebelumnya. Misalnya adanya lembaga takmir masjid di desa Tegalrejo, telah
mengubah sistem pengelolaan masjid yang semula hanya dikelola oleh seorang
kiai, kemudian dikelola secara kolektif oleh tokoh agama dan masyarakat.[7] Peran
Pesantren API Tegalrejo lainnya secara kultural antara lain, nilai agama
sebagai standar perilaku, filter budaya oleh pesantren, dan peningkatan
kesejahteraan penduduk.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebelum kita
mengetahui parameter keberhasilan dakwah, yang perlu diketahui terlebih dahulu
ialah tujuan, konsep, maupun indikator-indikator keberhasilan dakwah itu
sendiri. Adapun tujuan dakwah menurut Ilyas Supena mengatakan bahwa tujuan
dakwah ialah mewujudkan masyarakat yang menjunjung tinggi kehidupan beragama
dengan merealisasikan ajaran Islam secara penuh dan menyeluruh.
Kemudian, konsep
dakwah sendiri memiliki dua usaha bagi para da’i, yakni para da’i harus
berusaha secara maksimal dalam bentuk ikhtiar lahiriyah dan ikhtiar batiniyah.
Ikhtiar lahiriah adalah da’i berusaha untuk merangsang fungsi-fungsi hidayah
ilham (insting), hidayah hawasy (panca indera), hidayah akal pada mad’u untuk
mengetahui kebenaran haqiqi yang dapat dijadikan pegangan hidup. Ikhtiar
batiniyah adalah da’i berusaha untuk senantiasa berdoa, agar Allah Swt
menganugerahkan kepada mad’u hidayah at-taufiq (pertolongan), sehingga
pemahamannya tentang ajaran Islam dapat mengantarkan pada perubahan sikap dan
perilaku berdasarkan syariat Islam dalam kehidupannya.
Selanjutnya ialah
indikator-indikator keberhasilan dakwah. untuk menilai keberhasilan dakwah
secara sosiologis, dibutuhkan indikator-indikator tertentu sebagai tolak
ukurnya. Menurut Ahmad Faqih, indikator-indikator tersebut dapat digali dari
tujuan-tujuan dakwah yang telah dirumuskan oleh para ahli.
Dengan demikian,
dapat di deteksi oleh pembaca bahwa parameter keberhasilan dakwah tidak lepas
dari tiga unsur, diantaranya tujuan dakwah itu sendiri, konsep dakwah maupun
indikator-indikator terkait keberhasilan dakwah. Dalam hal ini, parameter
keberhasilan dakwah dapat diukur melalui dua kriteria, yakni secara kualitatif dan
secara kuantitatif.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin,
Anwar, 2011, Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi, Yogyakarta:
Graha Ilmu
Faqih,
Ahmad, 2015, Sosiologi Dakwah, Semarang: CV Karya Abadi Jaya
Pahlawan Kayo, Katib, 2007, Manajemen Dakwah: Dari Dakwah
Konvensional Menuju Dakwah Profesional, Jakarta: Amzah
Supena, Ilyas, 2007, Filsafat Ilmu Dakwah: Perspektif Filsafat
Ilmu Sosial, Semarang: Absor
Aziz, Moh. Ali, 2009, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana
S.
Ma’rif, Bambang, 2010, Komunikasi Dakwah Paradigma Untuk Aksi, Bandung:
Simbiosa Rekatama Media
[1] Bambang S.
Ma’rif, Komunikasi Dakwah Paradigma Untuk Aksi, (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2010), hlm. 29-30
[2] Anwar Arifin, Dakwah
Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm.
30-31
[3] Ilyas Supena, Filsafat
Ilmu Dakwah: Perspektif Filsafat Ilmu Sosial, (Semarang: Absor, 2007), hlm.
123
[4] Moh. Ali Aziz,
Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 35
[6] Khatib Pahlawan
Kayo, Manajemen Dakwah: Dari Dakwah Konvensional Menuju Dakwah Profesional,
(Jakarta: Amzah, 2007),hlm.86-91

Tidak ada komentar:
Posting Komentar