Kamis, 15 Desember 2016

makalah parameter keberhasilan dakwah

PARAMETER KEBERHASILAN DAKWAH
(Studi Kasus: Peran Pesantren API Tegalrejo Magelang dalam Pengembangan SDM)
Makalah
Disusun Guna untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sosiologi Dakwah
Dosen Pengampu: Ahmad Faqih, S.Ag, M.Si

Disusun Oleh:
Dwi Aprillia                        (1501046011)
Miftahul Mukarromah        (1501046018)
I’marus Sholeh                   (1501046020)
PMI A-3
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
       I.            Latar Belakang
Kegiatan dakwah sebagai upaya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi anil munkar dituntut untuk selalu mengembangkan visi, misi, dan wilayah kepeduliannya terhadap kelompok sasaran. Untuk itu perlu disusun agenda dengan menggunakan tekhnik dan metode kerja yang tepat agar dapat mencapai tujuan dengan efektif dalam rangka pelaksanaan dakwah yang profesional.
Untuk menentukan keberhasilan kegiatan dakwah hingga dapat disebut efektif, fungsional, dan profesional, diperlukan adanya standar dan kriteria sebagai alat ukur dari keberhasilan tersebut baik kuantitatif maupun kualitatif. Berangkat dari prinsip bahwa kegiatan dakwah adalah melaksanakan perintah Allah dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi anil munkar, maka standar dan kriteria yang harus dipakai ialah yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian, di dalam makalah ini, akan dibahas mengenai beberapa komponen bagaimana dan seperti apa dakwah dikatakan berhasil.
    II.            Rumusan Masalah
A.       Apa tujuan dakwah menurut para ahli ?
B.       Bagaimana konsep keberhasilan dakwah ?
C.       Apa saja indikator keberhasilan dakwah menurut perspektif sosiologi ?
D.       Bagaimana standar dan kriteria keberhasilan kegiatan dakwah?
E.        Bagaiamana profil pesanteren API Tegalrejo?
F.        Bagaiamana kondisi masyarakat Tegalrejo pra perubahan?
G.       Bagaiamana pengembangan sosial  sumber daya manusia masyarakat Tegalrejo setelah perubahan?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tujuan Dakwah
Dakwah bertujuan menciptakan suatu tatanan kehidupan individu dan masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera yang dinaungi oleh kebahagiaan, baik jasmani maupun rohani, dalam pancaran sinar agama Allah dengan mengharap ridha-Nya. Secara sistematis, tujuan dakwah adalah :
a.         Tazkiyatul I-Nafs
Membersihkan jiwa masyarakat dari noda-noda syirik dan pengaruh-pengaruh kepercayaan yang menyimpang dari akidah Islam. Suatu aktifitas dakwah diarahkan untuk mencerahkan batin individu dan kelompok, serta menemukan keseimbangan kehidupan yang dinamis. Untuk melakukan itu, diperlukan langkah komunikasi guna mempengaruhi sekaligus mengubah pikiran, ideologi, dan keyakinan yang buruk pada ideologi yang baik dilakukan dengan sebaik-baik perkataan (Kuswata dan Surya Kusumah, 1986 : 22).
b.        Mengembangkan Kemampuan Baca Tulis
Mengembangkan kemampuan dasar masyarakat meliputi kemampuan membaca, menulis, dan memahami makna al Qur’an serta sunnah Nabi. Dari sini, masyarakat akan melek huruf, kemampuan nalarnya berkembang menuju terciptanya masyarakat madani yang membawa kesejahteraan hidup sehingga masyarakat mampu untuk terus maju.
c.         Membimbing Pegamalan Ibadah
Umat Islam perlu mendapat bimbingan ibadah sehingga bobot ibadahnya menjadi baik atau lebih baik. Ibadah menjadi landasan bagi perkembangan kehidupan masyarakat untuk tetap damai, maju, dan selamat di dunia serta akhirat. Ibadah yang baik disertai dengan ilmu, pemahaman, dan penghayatan.
d.        Meningkatkan Kesejahteraan
Dakwah lazimnya membawa umat Islam pada peningkatan kesejahteraan, baik sosial, ekonomi, maupun pendidikan. Ini dapat tercipta bila dakwah mampu mendorong masyarakat muslim memiliki etos kerja : giat, perhitungan, menepati janji, menjamin kualitas, dan bersama-sama memelihara kebajikan.
Tujuan dakwah para Rasul dan Da’i adalah menyeru manusia kepada iman. Berkaitan dengan itu, A.A. Ishlahi (1989:80) menyatakan, iman tidaklah bersifat negatif, melainkan positif. Iman hanya bermanfaat bila tertanam kuat dalam sanubari dan jiwa seseorang.[1]
Menurut Anwar Arifin[2], tujuan dakwah ialah :
a)      Mewujudkan masyarakat Islam, yang di dalamnya setiap individu merasakan diri telah mencapai derajat dan kualitas tertinggi sebagai manusia, sesuai fitrah kejadiannya dan merasakan kehidupan yang Islami (damai, senang, bahagia, dan sejahtera).
b)      Menyempurnakan kehidupan manusia dengan bertitik tolak pada akhlak.
c)      Memindahkan umat dari satu situasi ke situasi yang lain.
Sedangkan menurut Ilyas Supena, tujuan dakwah ialah mewujudkan masyarakat yang menjunjung tinggi kehidupan beragama dengan merealisasikan ajaran Islam secara penuh dan menyeluruh.[3]
B.     Konsep Keberhasilan Dakwah
Pada awalnya hasil-hasil atau dalam konsep yang lebih umum, yaitu keberhasilan dakwah tidak menjadi perhatian para ahli dakwah dan para da’i yang bersentuhan langsung dalam proses dakwah. Bagi mereka hasil-hasil dakwah, dalam bentuk perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku mad’u setelah mengalami proses dakwah merupakan wilayah kekuasaan Allah SWT atau lebih dikenal sebagai hidayah. Setelah para da’i melaksanakan segala data dan upaya dalam amar ma’ruf nahi munkar dan disertai do’a yang mereka panjatkan. Kemudian mereka bertawakal kepada Allah SWT sebagai wujud kepasrahan akan hasil-hasil dakwah yang mereka lakukan.
Dalam firman Allah Swt, Q.S. Ali Imron: 20 yang artinya : “Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah : “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku”. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Alkitab dan kepada orang-orang yang ummi : “Apakah kamu (mau) masuk Islam”. Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”.
Berdasarkan ayat tersebut, bagi para da’i harus berusaha secara maksimal dalam bentuk ikhtiar lahiriyah dan ikhtiar batiniyah. Ikhtiar lahiriah adalah da’i berusaha untuk merangsang fungsi-fungsi hidayah ilham (insting), hidayah hawasy (panca indera), hidayah akal pada mad’u untuk mengetahui kebenaran haqiqi yang dapat dijadikan pegangan hidup. Ikhtiar batiniyah adalah da’i berusaha untuk senantiasa berdoa, agar Allah Swt menganugerahkan kepada mad’u hidayah at-taufiq (pertolongan), sehingga pemahamannya tentang ajaran Islam dapat mengantarkan pada perubahan sikap dan perilaku berdasarkan syariat Islam dalam kehidupannya.[4]
C.    Indikator Keberhasilan Dakwah Perspektif Sosiologi
Proses dakwah yang melibatkan semua unsur di dalamnya merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terjadi dilingkungan sosial, baik keluarga, kelompok atau komunitas dan masyarakat. Mad’u yang di ajak untuk masuk dalam sistem Islam yang sudah terikat oleh sistem sosial tertentu boleh jadi akan menerima ataupun menolak tergantung kebutuhan sosiologis mereka (mad’u). Bagi kaum elit politik dan ekonomi, dengan strata sosial yang dimilikinya kemungkinan besar akan menolak dakwah. Karena dakwah dipandang akan menggoyahkan posisis mereka, segala bentuk keuntungan yang diperolehnya. Kemungkinan yang sama juga dapat terjadi pada kaum non-elit, dakwah yang membawa nilai-nilai suci agama Islam akan mengalami hambatan bahkan penolakan, ketika mad’u telah lama mengikuti suatu pola hidup yang berbeda.
Maka dari itu, untuk menilai keberhasilan dakwah secara sosiologis, dibutuhkan indikator-indikator tertentu sebagai tolak ukurnya. Menurut Ahmad Faqih, indikator-indikator tersebut dapat digali dari tujuan-tujuan dakwah yang telah dirumuskan oleh para ahli. Pada ranah sosial, keberhasilan dakwah dapat dilihat dari dua dimensi yaitu dimensi individu dan dimensi sosial. Dimensi individu adalah suatu keberhasilan dakwah yang memfokuskan pada keadaan individu dalam konteks sosialnya. Apakah seorang individu memiliki karakteristik sebagai muslim yang baik, dalam posisinya sebagai hamba Allah ataukah khalifah dimuka bumi. Dimensi sosial adalah suatu keberhasilan dakwah yang menggambarkan kondisi sosial tertentu, apakah memiliki ciri-ciri tertentu sebagai masyarakat Islam dan atau masyarakat yang Islami.
a.       Dimensi Individu
1.      Iman
2.      Takwa
3.      Akhlaq mulia
4.      Sejahtera
5.      Bahagia
6.      Damai
b.      Dimensi sosial
1.      Khoiru Ummah: saling berpesan dengan kebenaran, kesabaran, mengajak kepada kebaikan, mencegah kemungkaran
2.      Nilai-nilai ajaran Islam teralisir dalam kehidupan masyarakat
3.      Keadilan sosial
4.      Makmur
5.      Damai
6.      Sejahtera[5]
D.    Standar dan Kriteria Keberhasilan Kegiatan Dakwah
Kegiatan dakwah sebagai upaya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi anil munkar dituntut untuk selalu mengembangkan visi, misi, dan wilayah kepeduliannya terhadap kelompok sasaran. Untuk menentukan keberhasilan kegiatan dakwah hingga dapat disebut efektif, fungsional, dan profesional, diperlukan adanya standar dan kriteria sebagai alat ukur dari keberhasilan tersebut baik kuantitatif maupun kualitatif. Berangkat dari prinsip bahwa kegiatan dakwah adalah melaksanakan perintah Allah dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi anil munkar, maka standar dan kriteria yang harus dipakai ialah yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
1.      Standar dan Kriteria Kuantitatif
Secara kuantitatif keberhasilan suatu kegiatan dakah dapat diukur dengan standar dan kriteria sebagai berikut:
a.       Kegiatan dakwah yang bertujuan untuk menegakkan amar makruf nahi anil munkar  harus dilaksanakan bersama-sama (kelompok) secara terkoordinasi dalam kesatuan organisasi yang kokoh, kuat, dan rapi. Artinya kegiatan dakwah harus didukung oleh sejumlah organisasi dakwah yang kuat, karena dakwah akan gagal bila secara kuantitatif, organisasi pendukungnya lemah. (QS. Ali Imron:104)
b.      Sholat sebagai pemegang fungsi terkuat yang membentengi diri agar terhindar dari tindakan keji dan mungkar, akan lebih afdhol bila dilaksanakan secara berjamaah. Falsafah sholah mengisyaratkan bahwa kekuatan jamaah untuk berdakwah harus diutamakan dari praktek dakwah sendiri-sendiri. Artinya dakwah jamaah lebih utama dari dakwah fardhiyyah.
c.       Jihad sebagai salah satu model dari kegiatan dakwah tidak hanya terfokus pada pertempuran saja, melainkan banyak sekali kegiatan lainnya yang digolongkan sama nilainya dengan jihad, seperti membela kebenaran dan keadilan dihadapan pemimpin yang dzolim, memelihar dan memuliakan kedua orang tua lebih-lebih dimasa tuanya, membela kepentingan fakir miskin dan anak yatim, mempertahankan dan memelihara jiwa, akal agama, harta, dan keturunan. Kenyataan ini memberi pesan bahwa lapangan gerak dakwah itu tidak satu, tapi sangat banyak dan luas. Artinya secara kuantitatif semakin luas wilayah jangkauan lapangan dakwah brmakna dakwah itu semakin baik. Begitu juga semakin banyak fariasi kegiatan dakwah bermakna kegiatan dakwah itu semakin sejuk dan merata.
Dari beberapa pernyataan ditas yang merupakan standar dan kriteria untuk mengukur keberhasilan dakwah secara kuantitatif, maka dapat disimpulkan bahwa untuk menjawab apakah kegiatan dawah itu dapat dikatakan berhasil secara kuantitatif adalah apabila: pertama, kegiatan dakwah telah didukung oleh banyak komponen organisasi dakwah, kedua lapangan lokasi gerak dakwah tidak hanya dimasjid melainkan meluas ke wilayah-wilayah pemukiman penduduk, perkantoran dan komunitas masyarakat lainnya. Ketiga, sektor kegiatan dakwah tidak hanya terpaku pada dakwah lisan atau tulisan saja, tapi telah berkembang secara luas ke sektor-sektor lain dalam bentuk dakwah bil-hal dan dakwah bil hikmah, seperti  bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan dalam arti luas.
2.      Standar dan Kriteria Kualitatif
Secara kualitatif keberhasilan kegiatan dakwah dapat diukur dengan standar dan kriteria sebagai berikut :
a.       Pelaksanaan kegiatan dakwah bertolak dari prinsip rasionalitas yang realistik, untuk ini sangat diperlukan adanya musyawarah secara timbal balik antara pelaku dakwah dengan objek dakwah. (QS. As-Syura:38)
b.      Penyampaian informasi haruslah didasarkan atas kemampuan dan tingkat kecerdasan akal objek dakwah. (alhadits)
c.       Pelaksanaan kegiatan dakwah harus merujuk kepada contoh sifat dan keteladanan Rasulullah SAW, baik sebagai seorang pemimpin, pembina kader, maupun sebagai pengarah khittah perjuangan masa depan. Beliau adalah seorang yang tegas, berani dan tak kenal kompromi dengan kekufuran, namun penyayang terhadap sesama muslim dan mukmin. (QS. Al-Ahzab:21 dan Al-Fath:29)
d.      Dalam melaksanakan gerak dakwah harus terlihat kepastian hukum, yang halal adalah halal dan yang haram adalah haram meskipun pahit dan sulit. (alHadits)
e.       Kejujuran dan keadilan harus ditegakkan dan tidak boleh berubah karena kebencian terhadap suatu kaum atau golongan. (QS. Al-Maidah: 8)
f.       Tingkat tertinggi dari kualitas dakwah membasmi kemungkaran harus diutamakan, yakni dengan kekuasaan atau power, berikutnya baru dengan lisan dan hati. (alHadits)
g.      Kepribadian Rasulullah sebagai insan pemaaf dan lemah lembut dalam berdakwah perlu mendapat perhatian untuk dicontoh. (QS. Ali Imran: 159)
h.      Amanah sebagai landasan moral dalam berdakwah harus ditempatkan pada posisi tanggung jawab yang inhern. (QS. An-Nisa’:58)
i.        Kebiasaan meninggalkan perbuatan dosa dn ikhlas dalam berdakwah telah menjadi kepribadian ummat. (QS. Al-Muddatsir: 1-7).
Dari beberapa pedoman tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa suatu kegiatan dakwah dapat dikatakan berhasil secara kualitatif apabila: pertama pelaku dakwah dalam bentuk lembaga atau organisasi sebagai subjek dakwah jumlahnya semakin banyak yang profesional dan memiliki tenaga-tenaga yang potensial yang berpendidikan, terampil dan punya wawasan pengalaman yang luas. Kedua, semakin banyak lapisan masyarakat yang tersentuh dan merasakan nikmat keislaman dan keimanan melalui gerakan dakwah baik lisan, tulisan, maupun dakwah bil-hal dan bil-hikmah, terutama dari kalangan dhuafa’ dan keluarga miskin. Ketiga, penyampaian pesan dakwah telah dikemas secara sistematis, ilmiah dan bermutu tinggi, sehingga menarik dsn menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat. Keempat, pelilaku kehidupan ummat semakin banyak yang berubah kearah positif, seperti akidak yang bersih dari syirik, dan tahayul, akhlaq semakin memilih yang terpuji dalam pergaulan yang semakin harmonis dan jauh dari tindakan kekerasan, sadis dan diluar perikemanusiaan. Kelima, pelaksanaan kegiatan dakwah telah dipersiapkan sedemikian rupa mulai dari proposalnya hingga realisasinya dilapangan mencerminkan nuansa etika, estetika, dan ukhuwah yang dikemas berdasarkan ilmu dan keterampilan yang telah teruji keberhasilannya. Keenam, umat semakin peduli dengan kegiatan dakwah dan semakin alergi melihat perbuatan-perbuatan dosa maksiat dan mungkar.[6]
E.     Profil Pesantren API Tegalrejo
Pesantren API (Asrama Perguruan Islam) Tegalrejo Magelang didirikan oleh KH. Chudlori pada tanggal 1 Oktober 1944. Nama API dipilih dengan pengharapan, dari kata “perguruan” tersebut para alumni betul-betul terdorong untuk menjadi guru ngaji. Dan sebagai pengharapan dalam usaha mendidik kader pembina kehidupan beragama. Dengan kekuatan lahir batin Sang Muassis ingin mewujudkan harapannya diawali dari pelajaran, sistem pendidikan, peraturan dan ditunjang dengan mujahadah dan riyadhah.
Pada awalnya bangunan pondok masih sangat sederhana, hanya sebuah rumah dari waqaf H. Dahlan Magelang. Musholla yang ada berfungsi sebagai tempat sholat berjamaah, juga sebagai tempat belajar para santri. Pada berapa dekade berikutnya secara berangsur-angsur Pesantren API mengalami perkembangan yang menggembirakan. Secara kualitatif Pesantren ini semakin memperkokoh jati diri sebagai pesantren alat, artinya kurikulum pesantren API memberikan bobot lebih banyak pada mata pelajaran yang berkaitan dengan ilmu bahasa khususnya bahasa Arab.
Dengan spesialisasi tersebut para santri diarahkan untuk memperdalam semua kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu alat, bahkan standar kelulusannya ditunjukkan dengan bagusnya hafalan dari kitab yang dipelajari seperti matan al-jurumiyah, alfiyah, tajwid hidayatus shibyan. Dengan menerapkan kombinasi sistem bandongan dan sistem klasikal, santri harus mengikuti pendidikan di Pesantren dari tingkat dasar atau shifir sampai tingkat VIII. Tiap-tiap tingkat membutuhkan waktu satu tahun, yaitu sebelum kegiatan haflah akhirussannah seluruh santri harus melaksanakan ujian kenaikan tingkat secara lisan dihadapan para ustad dan kiai.
Dalam usianya yang terus bertambah, Pesantren Api semakin srat dengan berbagai kegiatan, baik kegiatan para santri maupun kegiatan agama dan kemasyarakatan untuk kepentingan masyarakat Islam di sekitar pesantren. Maka terciptalah API Tegalrejo sebagai pusat kegiatan Islam, menjadi semacam laboratorium agama, khususnya untuk daerah Magelang.
F.      Kondisi Sosial Masyarakat Tegalrejo (Pra Perubahan)
Salah satu sifat dari masyarakat Jawa bahwa mereka religius dan bertuhan. Sebelum agama-agama besar datang ke Jawa mereka sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi dan mengayomi. Pengaruh animisme-dinamisme sebagai akar religiositasnya, dan hukum adat sebagai pranata sosialnya. Ciri khas religi animisme-dinamisme adalah menganut kepercayaan ruh dan daya ghaib yang bersifat aktif. Prinsip ruh aktif menurut kepercayaan animisme adalah orang mati tetap hidup bahkan menjadi sakti seperti dewa, bisa mencelakakan dan mensejahterakan manusia. Dunia ini juga dihuni oleh beberapa macam ruh ghaib yang bisa membantu dan mengganggu kehidupan manusia. Seluruh ritus atau meditasi religi dimaksudkan untuk berhubungan dan mempengaruhi ruh dan kekuatan ghaib tersebut, bahkan melalui meditasi atau dukun perewangan dijalin hubungan langsung untuk minta bantuan dengan ruh dan kekuatan ghaib itu.
Religi animisme-dinamisme tentu menumbuhkan kelompok pawang yang berfungsi sebagai pendeta, perantara, dukun, atau orang tua yang bisa berhubungan langsung dengan ruh yang menguasai kekuatan ghaib. Religi itu memuncak melalui pengembangan ilmu perdukunan, ilmu klenik dengan rumusan lafal yang dipercayai berdaya magis. Warisan tersebut masih tampak jelas pada primbon-primbon. Demikian pula ilmu santet dan ilmu tenung, merupakan warisan ilmu hitam nenek moyang yang berkaitan dengan kepercayaan animisme-dinamisme. Anehnya dalam transisi menuju modern ini ilmu perdukunan dan jampi-jampi kian marak dan bahkan sering dikaitkan dengan ilmu pijat urat. Jadi warisan zaman prasejarah di Jawa masih bertahan dengan berpengaruh, karena alam pikiran modern baru menyentuh pada lapisan minoritas kaum pelajar saja.
Jadi religi animisme-dinamisme telah mendominasi keseluruhan hidup manusia sejak taraf kehidupan manusia masih bersahaja. Paham ini mempercayai adanya ruh dan daya aktif yang sangat bertentangan dengan ajaran ruh dan daya pasif pada ajaran Islam. Paham ruh aktif sedemikian kukuhnya karena dipersabar oleh tradisi-tradisi agama timur, seperti Persia, Hindu, Budha, dan Tasawuf.
Karena itu KH. Chudlori sebagai golongan pembaharu mendapat tantangan berat untuk mengIslamkan desa Tegalrejo. Dalam realitasnya mereka menerima ajaran Islam, tetapi belum dapat melupakan ajaran-ajaran lama. Mereka mencampuradukkan antara kebudayaan dan agama Islam dengan kepercayaan yang lama. Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak dijumpai praktik tradisi dan kepercayaan ynag tercampur didalamnya antara aspek-aspek ajaran Islam dengan unsur-unsur kepercayaan lama.
G.    Dampak Sosial Pengembangan Sumberdaya Manusia Msyarakat Tegalrejo (Pasca Perubahan)
Eksistensi dan peran Pesantren API Tegalrejo yang telah lama mengakar di masyarakat sekitar, menyatu dengan kehidupan masyarakat telah memberi kontribusi yang tidak kecil untuk pengembangan masyarakat. Kehadirannya telah membawa perubahan yang signifikan untuk kemajuan masyarakat. Pada awalnya sang kiai membangun sebuah musholla kecil dari bambu. Tempat ini sebagai sentral kegiatan dakwahnya, uasaha yang terus menerus dengan personal approach dan cultural approach membawa hasil yang cukup baik dengan semakin banyaknya penduduk desa itu yang beragama Islam.
Pada segi struktural Pesantren API Tegalrejo telah berperan dalam menumbuhkan institional building dalam hal pelembagaan pengurusan masjid, zakat infak dan shodaqoh, pendidikan, seni budaya, kepemudaan dan politik. Pda mulanya masjid-masjid di desa Tegalrejo dikelola secara individual oleh sang kiai seluruh kegiatan dan perubahan yang menyangkut kemasjidan dibawah kendali sang kiai. Pada tehap selanjutnya pesantren bersama KUA Kec. Tegalrejo merintis pengelolaan masjid secara kolektif menggunakan sistem managemen modern. Para remaja di lingkungan sekitar masjid juga memperoleh lembaga baru yang dikenal sebagai ikatan remaja masjid. Kegiatan-kegiatan kemasjidan biasanya dilimpahkan pengelolaannya kepada para remaja seperti PHBI, amalan ramadhan, pelaksanaan penyembelihan hewan qurban dan pembagian zakat kepada masyarakat. Pesantren API Tegalrejo juga berperan penting dalam proses pembentukan organisasi kepemudaan, organisasi sosial kemasyarakatan, dan organisasi sosial politik.
Dengan keterlibatan pesantren dalam proses pembentukan lembaga tersebut, para kiai mendapat kehormatan sebagai sesepuh dalam semua institusi yang ada dimasyarakat. Bahkan pada lembaga pemerintah desa para kiai juga diposisikan sebagai penasehat (secara informal). Kedudukan yang diperoleh atas kerja keras atau prestasi tertentu, para kiai pesantren mampu berperan sebagai pengendali dan pengarah perkembangan pelembagaan di desa Tegalrejo. Peranan tersebut mampu diaplikasikan oleh para kiai dengan tetap memegang prinsip kebebasan dan keteraturan.
Inisiatif Pesantren API Tegalrejo untuk mendirikan lembaga-lembaga baru tersebut, mengakibatkan bertambahnya struktur-struktur baru yang berpengaruh terhadap perubahan struktur yang telah ada sebelumnya. Misalnya adanya lembaga takmir masjid di desa Tegalrejo, telah mengubah sistem pengelolaan masjid yang semula hanya dikelola oleh seorang kiai, kemudian dikelola secara kolektif oleh tokoh agama dan masyarakat.[7] Peran Pesantren API Tegalrejo lainnya secara kultural antara lain, nilai agama sebagai standar perilaku, filter budaya oleh pesantren, dan peningkatan kesejahteraan penduduk.









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sebelum kita mengetahui parameter keberhasilan dakwah, yang perlu diketahui terlebih dahulu ialah tujuan, konsep, maupun indikator-indikator keberhasilan dakwah itu sendiri. Adapun tujuan dakwah menurut Ilyas Supena mengatakan bahwa tujuan dakwah ialah mewujudkan masyarakat yang menjunjung tinggi kehidupan beragama dengan merealisasikan ajaran Islam secara penuh dan menyeluruh.
Kemudian, konsep dakwah sendiri memiliki dua usaha bagi para da’i, yakni para da’i harus berusaha secara maksimal dalam bentuk ikhtiar lahiriyah dan ikhtiar batiniyah. Ikhtiar lahiriah adalah da’i berusaha untuk merangsang fungsi-fungsi hidayah ilham (insting), hidayah hawasy (panca indera), hidayah akal pada mad’u untuk mengetahui kebenaran haqiqi yang dapat dijadikan pegangan hidup. Ikhtiar batiniyah adalah da’i berusaha untuk senantiasa berdoa, agar Allah Swt menganugerahkan kepada mad’u hidayah at-taufiq (pertolongan), sehingga pemahamannya tentang ajaran Islam dapat mengantarkan pada perubahan sikap dan perilaku berdasarkan syariat Islam dalam kehidupannya.
Selanjutnya ialah indikator-indikator keberhasilan dakwah. untuk menilai keberhasilan dakwah secara sosiologis, dibutuhkan indikator-indikator tertentu sebagai tolak ukurnya. Menurut Ahmad Faqih, indikator-indikator tersebut dapat digali dari tujuan-tujuan dakwah yang telah dirumuskan oleh para ahli.
Dengan demikian, dapat di deteksi oleh pembaca bahwa parameter keberhasilan dakwah tidak lepas dari tiga unsur, diantaranya tujuan dakwah itu sendiri, konsep dakwah maupun indikator-indikator terkait keberhasilan dakwah. Dalam hal ini, parameter keberhasilan dakwah dapat diukur melalui dua kriteria, yakni secara kualitatif dan secara kuantitatif.




DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar, 2011, Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi, Yogyakarta: Graha Ilmu
Faqih, Ahmad, 2015, Sosiologi Dakwah, Semarang: CV Karya Abadi Jaya
Pahlawan Kayo, Katib, 2007, Manajemen Dakwah: Dari Dakwah Konvensional Menuju Dakwah Profesional, Jakarta: Amzah
Supena, Ilyas, 2007, Filsafat Ilmu Dakwah: Perspektif Filsafat Ilmu Sosial, Semarang: Absor
Aziz, Moh. Ali, 2009, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana
S. Ma’rif, Bambang, 2010, Komunikasi Dakwah Paradigma Untuk Aksi, Bandung: Simbiosa Rekatama Media




[1] Bambang S. Ma’rif, Komunikasi Dakwah Paradigma Untuk Aksi, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2010), hlm. 29-30
[2] Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 30-31
[3] Ilyas Supena, Filsafat Ilmu Dakwah: Perspektif Filsafat Ilmu Sosial, (Semarang: Absor, 2007), hlm. 123
[4] Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 35
[5] Ahmad Faqih, Sosiologi Dakwah, (Semarang: CV Karya Abadi Jaya, 2015),hlm.128-129
[6] Khatib Pahlawan Kayo, Manajemen Dakwah: Dari Dakwah Konvensional Menuju Dakwah Profesional, (Jakarta: Amzah, 2007),hlm.86-91
[7] Ahmad Faqih, Sosiologi Dakwah, (Semarang: CV Karya Abadi Jaya, 2015),hlm.130-137

Tidak ada komentar:

Posting Komentar