KLASIFIKASI SAINS DALAM PEMIKIRAN AL - GHAZALI
Makalah
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Falsafah Kesatuan Ilmu
Dosen Pengampu : Dr. Ilyas Supena
Disusun Oleh :
Laini Latifah (1501046010)
Dwi Aprillia Hapsari (1501046011)
Muhammad Marzuki (1501046012)
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Filsafat atau
falsafah berasal dari perkataan Yunani Philosophia berarti cinta
kebijaksanaan (philen = cinta dan shopia = kebijaksanaan). Jadi kata filsafat
berarti mencintai atau lebih
suka terhadap kebijaksanaan.
Orang yang disebut Philosophos yang dalam Bahasa Arab disbut failasuf. Sutan Takdir
Alisyabana menyatakan bahwa filsafat berarti alam berpikir dan berfilsafat
adalah berpikir. Tetapi tidak semua kegiatan
berpikir disebut filsafat. Berpikir yang disebut
filsafat adalah berpikir dengan insaf, yaitu berpikir dengan teliti dan menurut
satuan aturan yang pasti Harun Nasution
mengatakan bahwa intisari filsafat adalah berpikir menurut tata tertib (logika)
dengan bahasa (tidak terkait dengan tradisi,
dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya hinggaan sampai ke dasar-dasar
persoalan. Ini sesuai dengan tugas filsafat yaitu mengetahui sebab-sebab
sesuatu, menjawab pertanyaan-pertanyan fundamental dan pokok-pokok serta
bertanggungjawab, sehingga mencegah masalah-masalah yang di hadapi.
Seringkali seseorang
menelaah penafsiran filsafat tentang Islam dari agama dan selalu berupaya
menemukan penafsiran filsafat dalam penafsiran kalangan para filosof. Ketidak
yakinan telah memperoleh sesuatu
yang berarti dalam masalah. Sesungguhnya kebanyakan perhatian terpusat pada masalah-masalah
klasik yang terdapat pada pemikiran Yunani. Imam al-Ghazali sendiri pada kenyataannya
adalah seorang filosof hakiki-seorang
filosof besar dan Ia mengambil peranan
unttuk mengeksposnya dalam wujud yang asli lagi kukuh. Dalam beberapa
segi, ia
memang seorang filosof antara lain : penulis kitab-kitab, orang yang meyakinkan
dengan berpendapat hakikat tasawuf, seorang filosof agama.
II.
Rumusan
Masalah
A. Bagaimana Sirah al-Ghazali ?
B.
Bagaimana Pemikiran
Filsafat Al Ghazali ?
C. Apa Saja Karya-Karya yang Pernah Ditorehkan Oleh Al Ghazali ?
D.
Bagaimana Klasifikasi Ilmu
menurut Al Ghazali ?
PEMBAHASAN
A.
Sirah al-Ghazali
Sebelum membicarakan sebab yang mendorong al-Ghazali
berpendapat dengan para filosof, maka ada baiknya penulis menjelaskan lebih
dahulu sirah al-Ghazali, sehingga kedudukan Tahafut
akan lebih jelas dalam sirahnya yang singkat ini.
Abu
Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali lahir pada tahun 450 H./ 1058 M.
di Thus (wilayah Khurasan), dan dikota ini ia meninggal dan dimakamkan pada
tahun 505 H./ 1111 M. Pada usia kanak-kanak, ia belajar ilmu fiqih di Kota Thus
pada imam ar-Razakani, dan selanjutnya ia pindah ke Naisabur dimana ia belajar
pada imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al- Juwaini. Ia sangat menonjol kemahirannya dalam ilmu kalam Asy’ari. Sehingga
merupakan seorang yang paling mahir bernalar dalam zamannya.” Kemudian ia
pindah ke Mu’askar dimana ia berhubungan dengan Nizamu’l-Mulk, Perdana
Mentri Bani Saljuk mengangkatnya menjadi pengajar (guru besar) di Universitas
an-Nizamiyyah di Baghdad.
Ia digelar dengan Hijjatu’l-Islam karena pembelaannya yang
mengagumkan terhadap agama. Al- Ghazali
sangat produktif dalam menulis; ilmunya sangat luas, dan setiap ilmu yang
ditulis adalah hujjaah : bagus
pemaparanya, jelas gaya bahasanya, tegas kesimpulannya serta kuat
dalilnya. Ia juga menulis dalam filsafat
yang telah diterjemahkan ke bahasa Latin dan telah
memperoleh popularitas yang luas di Eropa. Ia memaparkan
sejumlah ilmunya yang mewarnai zamannya,
dan berbagai mazhab dan sekte yang penting. Dalam kitab al-Munqidz, ia telah
berjalan sampai ke akhir jalan dengan
menghabiskan hidupnya dalam tasawuf
karena dapat mengantarnya kepada hakikat dan menyampaikan orang kepada
keyakinan.[1]
Al Ghazali setelah wafatnya mendapat gelar “Hujjatul
Islam” dari dunia Islam, ini berarti umat Islam mengakui bahwa amal dan ilmu Al
Ghazali selama hidupnya merupakan hujjah pembelaan yang berhsil menentang
anasir-anasir luar yang membahayakan kepercayaan umat Islam. Al Ghazali dianggap
telah berhasil membela kemurnian agama Islam dari dua macam serangan.[2]
Pertama : Serangan dari dunia filsafat yang telah menjadikan ilmu
tentang Ketuhanan itu berupa pengetahuan yang akali semata-mata dan mereka
memberikan gambaran tentang Ketuhanan yang membingungkan kepercayaan umat Islam
umumnya.[3]
Kedua: Al Ghazali dianggap telah berhasil memberikan tuntunan
yang sesuai dengan syariat Islam terhadap perkembangan mystiek (Tasawuf) dan
kebatinan (batiniah) yang keterlaluan dan membahayakan amal syariat Islam.[4]
B. Pemikiran
Filsafat menurut Al Ghazali
Untuk mengenal pemikiran filsafat Al Ghazali perlu meninjau empat unsur
yang ditentang dan juga keempatnya mempengaruhi
pemikiran filsafat dalam mencapai kebenaran :
1. Unsur pemikiran kaum Mutakalimin
2. Unsur pemikiran kaum filsafat
3. Unsur kepercayaan kaum Bathiniah
4. Unsur kepercayaan kaum sufi
Mula-mulanya Al Ghazali memdalami pemikiran kaum mutakalimia dengan egala
macam aliranya. Kemudian Al Ghazali melihat betapa perbedaan-perbeaan itu
terjadi karena berlainan dari segi mana mereka memandang soalnya masing-masing.
Al Ghazali tidak puas dengan dalil-dalil Mutakalimin saja. Lalu beliau
mendalami pelajaran filsafat. Beliu mempelajari karangan-karangan ahli filsafat
terutama karangan Ibnu Sina.
Al Ghazali (1050-1111) juga berpendapat terbagi tiga, ruh tumbuh-tumbuhan,
ru binatang, dan ruh manusia. Manusia mempunyai tiga ruh itu. Dalam hal ruh ini
Al Ghazali memperbedakan antara ruh dan nafs. Ruh adalah yang terdaapat dalam
tumbuh-tumbuhan, binatang, dan ,manusia, sedangkan nafs khusus ada dalam
manusia. Ruh kelihatannya bagi Al Ghazali mempunyai arti nyawa. Nafs,
mengandung arti jiwa yang memnpunyai daya berpikir. Nafs mempunyai dua daya:
praktis yang menggerakan badan manusia dalam perbuatan-perbuatannya, dan
teoritis yang menangkap pengetahuan yang terlepas dari materinya. Al Ghazali
berpendapat bahwa tugas daya praktis ialah berusaha mengontrol badan manusia, teoritis
akan mendekatkan ke hal yang mendekatkan manusia kepada Tuhannya. Nafs
merupakan suatu subtansi yang berdiri sendiri. Dan nafs dijadikan atau
diciptakan Tuhan tiap kali ada manusia yang lahir ke dunia ini.[5]
Setelah dipelajari filsafat dengan seksama, Al Ghazali mengambil kesimpulan
bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam hal ke Tuhanan seperti menggunakan
alat yang tidak mencukupi kebutuhan.[6]
Tidak puas dengan hasil-hasil filsafat itu Al Ghazali menyelidiki pula
pendapat aliran Bathiniah. Penganut aliran ini berpendirian bahwa ilmu yang sejati atau “ Kebenaran
yang mutlak” itu hanya dapat diturunkan
daripada “Imam yang Ma’sum” yang suci dari tersalah dan dosa. Tidak
ada pengikut Bathiniah yang tahu dimana tempatnya dan bila bisa ditemui. Al
Ghazali akhirnya menyimpulkan bahwa Imam
Ma’sum kaum Batiniah itu hanyalah “tokoh” yang ideal saja, hanya ada dalam
yanggapan tidak ada dalam amalan kenyataan (realitas) ini.[7]
Belum puas dengan ketiga penyelidikan itu , Al Ghazali meninggalkan urusan
keduniaan dan mulai mengikuti aliran tasawuf. Dalam gerakan tasawuf ini Al
Ghazali mendapat hakikat kebenaran yang dicari dan di selidikinya. Alghazali
menghadapkan seluruh hati dan kemauannya hanya kepada tuhan semata-mata, Al
Ghazali merasa dengan cara berpikir menjadi sangat jernih dan dengan tasawuf
ini Al Ghazali merasa dibukakan oleh Tuhan suatu pengetahuan ajaib yang belum
pernah beliau alami sebelumnya. Al Ghazali menganggap pengetahuan itulah
sebagai hakikat kebenaran yang Al Ghazali cari.[8]
Al Ghazali menyebut dua buah metode untuk mencapai pengetahuan tentang
kebenaran. Pertama Al Ghazali biasanya menyebut-nyebut metode ini dalam
menerangkan sifat manusia sebagai keutuhan yang telah sempurna atau dalam
menerangkan kesatuan eksistensi, metode ini dapat menunjukan pandangan filsafat
Al Ghazali, dimana subtansi dan metode hampir tidak dapat dipisahkan. Kedua;
metode yang kebanyakan subtansinya tidak berada diatas kemampuan untuk memahami
dari manusia-manusia kebanyakan, metode ini mempelajari hal-hal sederhana yang
dapat dikomunikasikan dalam bentuk bahasa. Al Ghazali tidak pernah berpretensi
untuk menyatakan kebenaran di dalam totalitasnya maupun mencoba untuk
mengajukan “bukti-bukti” mengenai adanya Allah.[9]
Sebagian orang menganggap bahwa Al Ghazali bukan seorang ahli filsafat
(filosuf) tetapi adalah seorang ahli Tsawuf (sufi). Alasannya kaeran Al Ghazali
dalam bukunya “Tahafatul Falasifah” telah menentang dengan terang-terangan hasil-hasil filsafat Yunani dan golongan Islam
sendiri, dan terang-terangan pula menganggap bahwa “akal” dan “filsafat”
bukanlah alat paling utama baginya. Memang benar mystiek atau tasawufumumnya
lebih memakai “perasaan” daripada “pemikiran” akan tetapi dalam tasawuf Al
Ghazali lebih tampak faktor pemikiran dari pada perasaan. Hal mana sesuai
dengan tuntunan ayat-ayat Al-Qur’an tentang pentingnya faktor akal[10]
Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al Ghazali berpendapat bahwa dunia ini
berasaal dari iradat (kemauan) tuhan semata-mata,tidak bisa terjadi dengan
sendirinya. Iradat Tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang.
Tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang ditangkap dan dikesankan pada
alam (intelek) manusia terbatas dalam ruang dan waktudan termasuk dalam
pengertian materialis. Al Ghazali menganggap bahwa Tuhan adalah trancendent,
akan tetapi kemauannya (iradatnya) adalah immanent di atas dunia ini dan sebab
hakiki dari segala kejadian. Tuhsn bukan memindahkan soal yang satun (faktor
penyebab) kepada soal yang lain (faktor akibat) tetapi Tuhan Menciptakan dan
menghancurkan dan akhirnya menciptakan hal yang baru sama sekali dalam
pengertian sebab kepada akibat itu.
C. Karya-karya Al – Ghazali
Dalam perjalanan hidup
yang cukup singkat, Imam Al-Ghazali banyak menyimpan rahasia yang terkandung
dalam berbagai karya yang ditinggalkan untuk dikaji lebih lanjut dan mendalam
untuk memahami pemikirannya. Sulaiman Dunya menyatakan dan mencatat bahwa karya
tulis Imam Al-Ghazali mencapai kurang lebih 300 buah. Ia mulai mengarang
bukunya pada usia dua puluh lima tahun ketika masih berada di Nisabur. Adapun
waktu yang dipergunakan untuk mengarang adalah selama tiga puluh tahun. Hal ini
berarti dalam setiap tahun ia menghasilkan karya tidak kurang dari sepuluh buah
(Kitab / Buku) besar dan kecil dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan,
diantaranya sebagai berikut :
a.
Kelompok Ilmu Kalam dan
Filsafat
1. Maqashid Al-Falasifah
2. Tahafut Al-Falasifah
3. Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad
4. Al-Munqid min Adh-Dhalal
5. Maqashid Asma fi Al-Ma’ani, Asma Al-Husna
6. Faishal At-Tafriqat
7. Qisthas Al-Mustaqim
8. Al-Musthaziri
9. Hujjat Al-Haq
10. Munfashil Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din
11. Al-Muntahal fi Ilm Al-Jadal
12. Al-Madinum bin Al-Ghair Ahlihi
13. Mahkum An-Nadhar
14. Ara Ilmu Ad-Din
15. Arba’in fi Ushul Ad-Din
16. Iljam Al-Awam ‘an Ilm Al-Kat
17. Mi’yar Al-‘Ilm
18. Al-Intishar
19. Isbat An-Nadhar
b.
Kelompok Fiqh dan Ushul
Fiqh
1. Al-Basith
2. Al-Wasith
3. Al-Wajiz
4. Al-Khulashah Al-Mukhtasar
5. Al-Mustashfa
6. Al-Mankhul
7. Syifakh Al-‘Alil fi Qiyas wa Ta’lil
8. Adz-Dzari’ah Ila Makarim Al-Syari’ah
c.
Kelompok Tafsir
1. Yaqul At-Ta’wil fi Tafsir At-Tanzil
2. Zawahir Al-Quran
d.
Kelompok Ilmu Tasawuf dan
Akhlak secara integral bahasanya (kalam, fiqh, dan tasawuf)
1. Ihya’ ‘Ulum Ad-Din
2. Mizan Al-Amanah
3. Kimya As-Sa’adah
4. Misykat Al-Anwar
5. Muhasyafat Al-Qulub
6. Minhaj Al-Abidin
7. Ad-Dar Fiqhiratfi Kasyf ‘Ulum
8. Al-Aini fi Al-Wahdat
9. Al-Qurbat Ila Allah Azza wa Jalla
10. Akhlak Al-Abrar wa Najat min Al-Asrar
11. Bidayat Al-Hidayat
12. Al-Mabadi wa Al-Hidayah
13. Nashihat Al-Mulk
14. Talbis Al-Iblis
15. Al-‘Ilm Al-Laduniyyah
16. Ar-Risalat Al-Laduniyyah
17. Al-Ma’khadz
18. Al-‘Amali
19. Al-Ma’arij Al-Quds
Berbagai karya Imam Al Ghazali yang multidisipliner tersebut, membuktikan
bahwa Imam Al Ghazali merupakan pemikir kelas dunia yang amat berpengaruh, baik
bagi kalangan para tokoh ulama klasik maupun para intelektual modern dewasa
ini.[11]
D. Klasifikasi Ilmu menurut Al Ghazali
Imam Al Ghazali mendapat
perhatian yang besar dari para ulama Islam karena kedalamannya dalam berbagai bidang
ilmu. Upaya menguak hakikat ilmu terlihat dalam pembahasan awal kitabnya yang
sangat terkenal, Ihya Ulumuddin. Ia mencoba membuat sebuah klasifikasi
ilmu mutakhir berdasarkan pengamatannya pada pekerjaan ulama terdahulu dalam
bidang yang sama. Sebelum al-Ghazali, beberapa ulama seperti al-Kindi dan
al-Farabi pernah membuat klasifikasi ilmu pengetahuan.
Secara umum menurut Imam
Al Ghazali, Ilmu terbagi menjadi dua klasifikasi diantaranya Ilmu Muamalah dan
Ilmu Mukasyafah.
a. Ilmu Muamalah
Ilmu Muamalah adalah ilmu mengenai keadaan hati yang
mengajarkan nilai-nilai mulia dan melarang tindakan yang melanggar kesusilaan
pribadi dan etika sosial syari’ah. Ilmu muamalah terdiri dari ilmu fardhu ‘ain
dan ilmu fardhu khifayah. Ilmu Fardhu ‘Ain sendiri hanya membahas ilmu Syari’ah
yang mengetahui perkara halal dan haram serta mengetahui perkara yang halal dan
haram dalam bermuamalah. Sedangkan Ilmu Fardhu Khifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari
oleh sebagian masyarakat Islam, bukan seluruhnya.
b. Ilmu Mukasyafah
Ilmu Mukasyafah merupakan ilmu yang langsung diberikan
oleh Allah SWT dengan perantara pengilhaman, kepada hati orang Mukmin yang
bersih. Ilmu mukasyafah diperoleh dengan cara membersihkan hati, tobat, iman,
dan takwa. Disebut ilmu mukasyafah karena pengetahuan ini lebih pada pengalaman
yang menimbulkan sebuah kesadaran.[12]
PENUTUP
Dari uraian diatis dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah seorang
teolog sekaligus seorang pemikir Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya
sampai ke generasi sekarang.
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, tentunya makalah ini jauh
dari kata sempurna. Kami sadar ini adalah proses dalam menempuh dari
pembelajaran. Untuk itu, kami berharap kritik dan saran yang bisa membangun
demi kesempurnaan makalah kami. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang),
1984
Hasbullah
Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam, ( Jakarta: Tintarnas
Indonesia ), 1973
Harun Nasuttion,
Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang), 1973
Ali Issa
Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (Bandung: Perpustakaan Salman ITB),
1981
Hakim Atang Abdul, Filsafat Umum dari
Mitologi sampai Teofilosofi, (Bandung: Pustaka Setia), 2008
Himawijaya, Mengenal Al Ghazali, (Bandung:
DAR! Mizan), 2004
[1]
Ahmad Daudy,Segi-Segi pemikiiran Falsafi
Dalam Islam, (Jakarta: bulan bintang, 1984),hlm 59-61
[2] Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam, ( Jakarta:
Tintarnas Indonesia, 1973), hlm 49
[9] Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali, (Bandung: Perpustakaan
Salman ITB, 1981), Hlm 177-178
[11] Drs. Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), Hlm. 470-471
Tidak ada komentar:
Posting Komentar